“AYAH” by Shavira R K

AYAH

 “Ayah”
“Oke deh, kalau udah siap langsung ke sini ya jemput aku”
“Siap”

Kututup telepon setelah berjanji menjemput Jura. Aku sedang duduk di taman bersama beberapa temanku. Kerja kelompok di akhir pekan memang menyebalkan. Tapi jika tidak kuikuti sekarang, akan lebih menyebalkan kedepannya.

Sore ini aku dan Jura berencana ke pantai. Sudah lama aku tidak memanjakan lidahku dengan bakso dan telur gulung yang berjajar di sepanjang jalan menuju ke pantai itu. Kuhampiri teman yang kutinggal menelepon tadi. “bentar lagi kita udah bisa bubar, covernya aku saja yang ngerjakan” usulan Sisi kami amini dengan senang hati. Aku dan beberapa teman lain merapikan laptop, buku-buku, dan beberapa sampah bekas makanan ringan. Setelah berdiskusi satu dua hal lagi aku langsung pamit pada teman temanku, aku langsung menuju kost Jura.

Kupakirkan motorku setelah itu aku langsung beranjak naik ke lantai dua. Jura teman terdekatku dari SMA, entah bagaimana cerita kami kuliah di kota yang sama. Setelah dua ketukan, pintu terbuka menampakkan Jura yang masih memakai mukena. “sholat dulu sana” ujarnya. Aku langsung sholat sementara ia siap siap.

Kulipat mukena selesai aku sholat, kulihat Jura memasukkan laptop ke dalam tasnya. “untuk apa bawa laptop Jur, ke pantai lo kita” “iya gapapa, abis ini kita duduk ya, aku traktir” ujarnya padaku sambil menaik turunkan alis tebalnya itu.

Di pantai Jura banyak diam. Walaupun diam setidaknya ia ikut makan makanan yang kami beli di sepanjang jalan menuju kesini tadi. Kami duduk di bebatuan yang disusun sepanjang bibir pantai. “kenapa sih Jur?” tanyaku. “gak papa Ingga, aku lagi rindu aja” katanya. Aku diam. Jujur aku paling enggak bisa memberi saran atau nasihat atau apalah jika ada seseorang yang curhat atau sekedar galau begini. Ya setidaknya aku cukup duduk dengarkan saja. Lebih kurang paling juga aku hanya mengatakan “yaudah minta maaf aja” atau saran saran dan respon lain yang menurut aku sendiri jika aku yang berada di posisi mereka juga tidak berdampak pada kegalauanku. tapi mau bagaimana lagi. “cerita ke mama kamu Jur. Nanti kita libur ajak mama kamu ziarah sama-sama” lihat kan malah kata itu yang keluar dari mulutku. untung jura mengatakan iya. Aku sudah tahu kenapa jura membawa laptopnya dan mengajakku duduk.

Setelah membereskan bekas sampah makanan kami, aku langsung berdiri dan mengajak Jura pergi ke cafe tempat kami biasa duduk untuk sekedar mengerjakan tugas atau sekedar aku menemani Jura menulis. Jura memang suka menulis. Semua yang ada dipikirannya ia tuangkan dalam bentuk tulisan yang ia koleksi sendiri di salah satu folder laptopnya itu.

Begitu sampai aku memesan minuman dan makanan untukku dan jura sekalian menanyakan sandi wifinya. aku langsung berkutat dengan handphoneku. kulihat Jura sekilas yang sudah mulai menggerakkan jari jarinya di tuts laptop. Jura seorang anak yatim. Ayahnya meninggal satu tahun yang lalu. Satu tahu merupakan masa yang masih singkat untuk sekedar melupakan. Bukan melupakan, maksudnya menerima. Bagaimana pun jura harus bisa menerima dengan iklas kepergian ayahnya tersebut. Mungkin jura bukannya belum menerima, hanya saja saat ini ia benar benar rindu dengan sosok ayah tersebut.

Kulihat Jura melamun. “Jur, enak enggak sih nulis gitu?” pertanyaanku mengalihkan lamunannya. “Ya gitulah, coba aja sendiri, itu bawa laptop kan” aku tetawa. Malas masih menggerogotiku. “lebih menggoda melihat konten kecantikan di youtube” pikirku. “coba lah dulu, nanti kalau Ingga udah siap aku koreksi deh sikit sikit. Ya walaupun aku engga ahli ga papa kali ya hahah” kata Jura, aku ikut tertawa. “aku gak tau mau nulis apa Jur” “tulis tentang ayah kamu aja, aku lagi cerita tentang ayahku” kata Jura. “tapi aku engga bisa ” ujarku lagi. “udah mulai aja dulu” kata Jura sewot. “cepetan mulai”.

Akhirnya kuambil laptop dari tasku, aku terbengong memikirkan apa yang harus aku tulis. Pikiranku lari disaat saat menyenangkan maupun tidak menyenangkan bersama ayahku. lama kupikirkan ternyata aku juga rindu sama ayah. sudah tiga hari ini aku tidak menelepon ayah maupun ibuku. terakhir kutelepon ayah untuk mengingatkan uang jajanku sudah bisa ditransfer. Aku mulai menggerakkan jari jariku di tuts, rasanya apa yang kupikirkan tadi mengalir begitu saja.

Ayah, Ingga ternyata rindu ayah. ingga disini sehat yah, ayah sehat juga kan? Ayah Ingga mau cerita, terkadang Ingga rindu diri Ingga waktu masih kecil yah, rindu waktu ayah gendong gendong Ingga, waktu ayah ajari Ingga naik sepeda, Ingga masih ingat kuku Ingga ada yang gak rata akibat kena rantai sepeda waktu itu, terus Ingga yang nangis mewek ayah gendong balik ke rumah, sampai rumah ayah kena marah mama deh karena ajari Ingga bersepeda. Hehehe. Inggga juga rindu dipeluk ayah kalau lagi demam, Ingga rindu juga pijak badan ayah, dan naik naik ke punggung ayah sama Rara.

Kuhela nafas, “ini sih mirip surat kali ya” pikirku. Jura berdiri “ngapain?” tanyaku. “aku mau pup, kamu di sini saja ya.” Kata Jura. setelah beberapa menit bengong tidak tahu mau melanjutkan menulis apa, aku mengintip tulisan Jura. Di laptopnya, sudah ada setengah halaman yang tertulis, mungkin sama sepertiku, Jura juga terbengong di depan laptopnya. Kubaca cerita Jura kata demi kata, “sama seperti punyaku kok, berarti aku engga salah ni” pikirku. Tapi ada yang berbeda antara ceritaku dan cerita Jura. Di akhir paragraf ia menuliskan
“Ayah, walaupun ayah engga bersama Jura lagi, Jura yakin ayah selalu bersama Jura di setiap langkah jura”

Aku kembali ke tempat dudukku. sudah ada beberapa hal yang ada di kepalaku yang ingin kutuliskan tapi aku tidak tahu bagaimana menuliskannya. Lama aku terbengong di hadapan laptopku. Jura kembali dari kamar mandi. “ingga udah siap kan? Pulang yuk entar keburu maghrib” katanya sambil menghabiskan makanan kami tadi. Setelah membayar makanan dan minuman kami di kasir Jura meminta kunci motorku.

Selama berada di boncengan Jura, aku terus memikirkan hal yang belum kutuangkan ke tulisan tadi, hal itu adalah bahwa aku takut. Aku takut tak sehebat jura dalam menanggapi kepergian ayahnya. Lebih dari itu, aku takut tiba dimana saatnya ayahku pergi dariku. aku takut kesempatan untuk berbuat baik dan berbakti pada ayahku direnggut begitu saja dengan mudah atas kehendak yang maha kuasa. Selama ini aku tidak pernah memikirkan hal tersebut. Bagaimana pun seseorang yang hidup pasti akan berpulang ke penciptanya. Namun aku takut, sangat takut jika hal tersebut menimpaku dan belum ada suatu hal yang telah aku perbuat yang membuat ayahku bangga. Teringat selama ini pembangkanganku terhadap ayah dan ibuku. sakit hatiku memikirkannya. Apalagi ayah dan ibuku yang merasakannya.

Dari kost Jura aku langsung bertolak pulang ke kostku. “belum maghrib, masih bisa menelepon” pikirku. Setelah beberapa nada sambung, ayah mengangkat teleponku “assalamualaikum nak” langsung saja air mataku jatuh, tidak tahu kenapa hanya saja aku tidak sanggup memikirkan bagaimana rasanya jika kehilangan sosok ayah. Keluar dari mulutku pertanyaan yang amat jarang kutanyakan pada ayah maupun Ibuku “ayah sedang apa? Sehat kan yah?”. pertanyaan seperti ini tidak penting buatku yang tidak pandai berbasa basi. Aku anak yang kaku, tidak banyak bercerita pada orangtuaku, sampai sampai terkadang aku iri dengan anak anak yang ada di film, bagaimana mereka dengan mudahnya mengatakan “aku sayang ibu” atau sederet kata yang mewakili kasih sayangnya yang lain. Kini aku tau, bagiku kata kata sepele seperti itu mungkin tidak penting, namun beda halnya kata kata sepele tersebut pada orang yang telah ditinggalkan, seperti temanku tadi. Aku ingin kata kata sepeleku tersampaikan. Begitu juga temanku, namun kata kata sepele milik temanku hanya tertahan di folder laptopnya. Belum terlambat bagiku untuk menyampaikan kata kata sepele tersebut. Selagi masih ada kesempatan, kata kata itu harus tersampaikan.

 

Penulis

Shavira R K

Kepala divisi Humas

D3 Manajemen Administrasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.